“YouTube, YouTube,
lebih dari TV! BOOOM!”
Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Beberapa tahun belakangan, platform visual memang sangat populer. Banyak orang lebih tertarik dengan konten visual sehingga media sosial seperti Instagram dan YouTube sangat sering dikunjungi.
Banyak dari YouTuber di Indonesia mendapatkan Gold Play Button yang dibagikan setiap si creator mendapatkan 1 juta subscriber. Bahkan Februari 2019 lalu, YouTuber Atta Halilintar dan Ria Ricis mendapatkan Diamond Play Button atas keberhasilannya mendapatkan 10 juta subscriber. Mereka adalah orang Asia Tenggara pertama yang mendapatkan Diamond Play Button.
Menurut studi Kantar TNS tentang pengguna internet di Indonesia ada tiga kunci penting yang berperan atas kepopuleran YouTube. Pertama, posisi Youtube mulai menggeser TV. Kedua, mayoritas orang Indonesia mengakses YouTube. Ketiga, Youtube berperan penting pada keputusan pembelian konsumen.
YouTube Berperan Menggeser Televisi
Seberapa sering Anda menonton TV? Apakah jauh lebih sering membuka YouTube? Mayoritas pengguna Youtube di Indonesia menggunakan platform ini untuk mencari konten yang mereka inginkan.
Google menyebutkan bahwa 57 persen pengguna YouTube mencari konten hiburan dan 86 persen pengguna mempelajari informasi baru di YT.
Kalau di TV Anda terbiasa dijejali dengan program konten yang secara khusus mereka kemas. Anda tidak bisa memilih ingin melihat konten yang seperti apa, kalau tidak suka Anda pindah ke channel lain yang juga menjejali konten serupa tapi tak sama.
Karena behavior mayoritas orang berubah, hal ini berpengaruh pada pola kerja televisi. Termasuk, dalam membuat konten yang menarik. Banyak orang berpikir bahwa tayangan di TV tidak berbobot karena hanya menuruti rating saja. Dengan dalih hanya mengikuti kemauan pasar. Sehingga mereka lebih mencari alternative lain untuk memilih kontennya sendiri yaitu YouTube.
Fenomena Elsagate: Tren Mengerikan di Youtube untuk Anak-Anak
Ketika di YT, banyak varian konten yang bisa Anda pilih sesuai keinginan dan menyesuaikan jam tayang dengan waktu luang Anda. Bisa ditonton dimanapun dan kapan pun.
Sayangnya, ini adalah celah yang dimanfaatkan para “penjahat” konten. Tidak ada pedoman dan pengawasan yang kuat dalam mengatur sebuah konten. Meski sudah disiasati dengan algoritma YouTube dan perizinan akes YT dengan umur, ada saja orang-orang yang dapat mengelabui algoritma tersebut.
Fenomena yang muncul untuk mengelabui algoritma YT disebut elsagate. Elsagate adalah konten berupa animasi dan live action superhero atau tokoh kartun yang disukai anak-anak, video tersebut mengandung kekerasan baik secara fisik dan verbal, serta menjurus ke hal-hal berbau seks.
Anak-anak memang empuk dijadikan sasaran pasar. Sebab mereka termasuk dalam segmen pengguna YouTube dengan traffic yang besar. Menurut penemuan Ofcom, terjadi peningkatan anak-anak sebagai pengguna YouTube dari tahun 2016-2017, yaitu:
Pengguna berusia 3-4 tahun: meningkat dari 37 persen menjadi 48 persen.
Pengguna berusia 5-7 tahun: meningkat dari 54 persen menjadi 71 persen.
Pengguna berusia 8-11 tahun: meningkat dari 73 persen menjadi 81 persen.
Hal ini menunjukkan tren video hiburan anak-anak menjadi kategori populer di YouTube. Tidak heran bukan bagaimana Ria Ricis dan selebgram dengan konten spamming dan thumbnail slime dan pencet-pencet squishy mendapatkan viewers yang sangat besar.
Konten tersebut bukanlah masalah besar, ada hal yang lebih GENTING! Para phedophil sudah mengintai channel untuk anak-anak. Tontonan ini jelas sangat berbahaya. Mereka dibalut dengan tokoh-tokoh yang digemari anak-anak dan isinya “menyesatkan”. Video Elsagate biasanya hadir dengan judul-judul tanpa struktur yang tidak memiliki arti kalimat yang koheren, mereka hanya mengejar keyword yang banyak dicari. Biasanya menggunakan nama karakter yang populer, “superheroes” atau “nursery rhymes”.
Jalan cerita di video Elsagate tidak jelas, untuk menarik anak-anak agar tetap berlama-lama di video mereka juga dibubuhi lagu anak-anak populer. Elsagate juga menampilkan pose dan kegiatan menjurus ke arah seksual. Kebanyakan memiliki tema dan latar seperti medis dan kehamilan serta menampilkan adegan kriminal seperti kekerasan fisik, pensulikan, dan bunuh diri.
Bahkan ketika kita hanya melihat videonya sekilas tidak kentara apa yang salah dengan melihat karakter kartun yang bergerak. “Oh, nonton kartun”. TAPI, bagaimana jika anak-anak Anda meniru adegan tersebut?
Kawal Penggunaan Konten YouTube
YouTube mengaku telah menemukan lebih dari 50.000 channel dengan konten yang tidak senonoh, parahnya mereka masuk ke dalam kategori layak konsumsi anak. Data tersebut dihitung per November 2017.
Di November 2017 pula, YT menyatakan telah menghabus lebih dari 270 akun dan 150.000 video yang dianggap berbahaya bagi anak-anak. YT juga memberlakukan kebijakan restriksi umur bagi sejumlah video yang menampilkan karakter kartun dalam adegan yang tidak layak untuk dikunsumsi anak.
Mereka juga membuat peraturan mengenai video yang menampilkan karakter kartun dalam adegan kekerasa, seksual, atau situasi tidak senonoh lainnya untuk tujuan satir dan komedi TIDAK DAPAT DIMONETISASI. Well, sudah ada lima juta video yang dicabut monetisasinya karena peraturan ini sepanjang Juni hingga November 2017.
Sekarang hadir pula YouTube Kids yang diperuntukkan bagi anak-anak. Aplikasi ini hanya menampilkan konten yang telah diseleksi oleh manusia, bukan sistem robot lagi, dengan content creator yang telah diverifikasi oleh YouTube. Nah, orang tua juga bsisa berperan untuk menyeleksi video secara manual.
Meski sudah ada langkah-langkah ketat yang diambil YouTube dalam memerangi Elsagate. Ada baiknya kita juga mendampingi konsumsi konten bagi anak-anak di lingkungan kita. Harus ada filter yang dibuat melalui kesadaran sebagai manusia yang memiliki value kehidupan, tidak hanya filter tontonan untuk anak-anak, itu juga berlaku untuk diri kita sendiri.
“Moderator manusia masih diperlukan dalam menghapus konten dan melatih sistem machine learning karena akal manusia berperan penting untuk membuat keputusan kontekstual terhadap konten.”- Susan Wojcicki, CEO YouTube
Selalu ada dua sisi koin pada setiap perkembangan. Itulah kelemahan dari variasi konten yang ada di YT, kebebasan untuk memilih harus digunakan dengan bijaksana. Jangan sampai malah kita terbuai dan disuguhi juga oleh mesin yang bisa menjerumuskan. Meski televisi menyediakan konten yang “sesuai selera pasar”, ada aturan yang telah mengikat mereka di bawah naungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan memiliki kode etik Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran(P3 SPS).